Oleh: Abdusy Syakir, SH, MH
“Berpolitik jadi sebuah pilihan yang mesti dipertimbangkan
bagi siapapun yang menghendaki perubahan karena perubahan
tak datang tiba-tiba, hanya berkat doa ditengah malam buta”
Najwa Shihab
PENDAHULUAN
Kutipan diatas bisa jadi merupakan inspirasi bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan digelar di 270 daerah baik Provinsi, Kabupaten dan Kota pada 9 Desember 2020 sebagai momentum mewujudkan perubahan khususnya melawan dominasi kaum Adam dalam kancah politik dalam perspektif pemilihan kepala daerah.
Mainstream politik sebagai ruang abu-abu, kotor dan kejam sehingga cenderung dimaknai publik sebagai domainnya laki-laki tentu ini harus di patahkan khususnya bagi penggiat perempuan guna memperjuangkan kepentingan dan pembelaan terhadap isu hak-hak kaum perempuan (Hawa) khususnya di Indonesia.
LATAR BELAKANG
Tanggal 22 Desember 1928 adalah momentum formal “perlawanan” kaum hawa atas dominasi kaum Adam dengan berlangsungnya kongres perempuan pertama di Yogyakarta dimana hasil kongres adalah membentuk Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang bertujuan mempersatukan perempuan Indonesia untuk menuntut perlindungan terhadap berbagai kekerasan dan memperjuangkan kesaman hak perempuan dengan laki-laki dalam sektor publik.
Meskipun demikian gerakan emansipasi perempuan Indonesia telah ada sejak zaman kolonial Belanda yang ditandai berdirinya Putri Merdiko sebagai adalah salah satu organisasi perempuan pada tahun 1912 yang memperjuangan kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam hal kesamaan hak dalam mengenyam pendidikan.
Selain itu, kita juga mengenal tokoh perempuan yang terkenal dengan bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, R.A Kartini merupakan tokoh perempuan yang giat dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam bidang pendidikan.
Tentu semua proses diatas lebih dilatarbelakangi adanya paradigma bahwa Perempuan dalam budaya Indonesia telah dikonstruksikan sebagai orang yang selalu berada di bawah laki-laki dan ruang geraknya hanya sebatas ruang domestik, yaitu mengatur urusan rumah tangga, mengasuh anak, mengelola kebutuhan rumah tangga dan melayani suami.
Social construction masyarakat yang telah membudaya tersebut membuat perempuan enggan keluar dari ruang domestik ke ruang publik. Hal itu dikarenakan akan terjadi anomaly atau perempuan akan dipandang telah melakukan devian terhadap pranata yang ada dalam masyarakat.
Budaya patriarkis telah membangun sebuah bangunan sistem yang kompleks yang pada setiap bagian kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara didominasi oleh laki-laki.
FAKTA EMPIRIK
Mengutip data dari situs https://infopemilu2.kpu.go.id/pilkada2020/penetapan, setidaknya pada pilkada 9 Desember 2020 ini terdapat lebih kurang 159 perempuan yang berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah baik sebagai Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Gubernur, Walikota dan Bupati, secara matrik dapat dilihat dibawah ini :
JENIS PEMILIHAN CAKADA CAWAKADA TOTAL TOTAL JUMLAH CALON
L P L P L P
Gubernur 23 2 22 3 45 5 50
Bupati 547 70 558 59 1105 129 1234
Walikota 86 15 91 10 177 25 202
TOTAL 656 87 671 72 1327 159 1486
Jika data diatas kita breakdown lagi secara spesifik jumlah partisipasi politik kaum Hawa dan yang menang dalam konteks pemilihan kepala daerah sangat minim meskipun jika bercermin dari 3 kali pemilihan kepala daerah sebelumnya yakni pilkada tahun 2015 hanya 8,7 % yang menang, tahun 2017 hanya 5,90 % yang menang dan pilkada tahun 2018 dari total 342 perempuan yang berpartisipasi hanya 31 orang yang menang dan terpilih atau sekitar 9,06 %.
Berdasarkan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) Kementerian Dalam Negeri untuk Pilkada 2020, secara statistik terdapat jumlah pemilih sebanyak lebih kurang 105.396.460 jiwa dan jumlah pemilih perempuan hampir setengah dari total jumlah pemilih, yakni 52.616.521 jiwa sementara jumlah pemilih laki-laki sebanyak 52.778.939 artinya hanya terdapat selisih 162.418 pemilih dan hanya nol koma sekian persen secara angka nasional.
Meskipun demikian Jeirry Sumampow, selaku Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) dalam webinar bertema “Perempuan dalam Panggung Pilkada 2020” di Jakarta, Minggu (20/9/2020), menyatakan terdapat trend kenaikan partisipasi calon perempuan pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 namun, kenaikan tersebut hanya sedikit, yaitu tidak sampai 2 persen dan jumlah partisipasi calon perempuan pada Pilkada 2020 ini hanya pada kisaran angka 10,6 persen.
Fakta empirik ini sekaligus menegasikan bahwa terdapat ketimpangan yang sangat jauh berkenaan peran dan keberhasilan kaum hawa dalam konteks politik perebutan kepemimpinan di ranah eksekutif, sehingga dapat dipastikan bahwa kedepan tugas, tantangan sekaligus pekerjaan rumah yang akan dihadapi guna memperjuangkan isu-isu yang berpihak serta peka pada perempuan, semakin berat dan terjal.
PROBLEM DAN TANTANGAN PARTISIPASI PEREMPUAN PADA PILKADA
Ketika bicara tentang problem dan tantangan kaum hawa setidaknya ada tiga tantangan yang dialami perempuan dalam berkiprah di dunia politik Prof. Farida Nurland, akademisi dari Universitas Hasanudin Makassar yakni, budaya Indonesia yang patriartki, pemahaman dan interpretasi konservatif masyarakat Indonesia terhadap ajaran agama beragam dan Institusi-institusi Negara yang terus menerus mempertahankan budaya patriarki.
Selain itu setidaknya dalam konteks pilkada tahun 2020 ini menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati tantangan dan problem tersebut meliputi, masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat Indonesia, tingginya syarat regulasi batasan pencalonan yakni harus 20 % kursi DPRD atau 25 % dari suara pemilu sebelumnya, demokratisasi pada internal parpol yang dianggap belum efektif, dan sulitnya membuat calon alternative atau perseorangan non parpol. Apalagi pelaksanaan pilkada kali ini diselenggarakan ditengah merebaknya wabah Covid -19 yang tak berujung dan perempuan merupakan kelompok rentan terdampak wabah ini.
MOMENTUM PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI MUSI RAWAS
Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik menyebutkan yang dimaksud partisipasi politik adalah kegiatan seorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, dengan cara memilih pemimpin baik itu negara maupun pemimpin organisasi secara langsung ataupun tidak langsung.
Implementasi dari aktifitas tersebut diatur dan dijamin oleh konstitusi kita yakni Undang-Undang Dasar 1945 dalam wujud hak untuk dipilih (Right to Vote) dan hak untuk dipilih (Right to be Elected).
Adalah menarik jika mengikuti dinamika politik pemilihan kepala daerah di Kabupaten Musi Rawas pada tahun 2020 yang merupakan salah satu bagian dari 270 daerah di Indonesia melaksanakan pesta demokrasi berupa pemilihan kepala daerah putaran terakhir (empat), kenapa ??
Pertama, pilkada kali ini merupakan rematch (laga ulang) antara sosok Petahana yakni H. Hendra Gunawan dan Hj. Ratna Mahmud karena sebelumnya pada pilkada 2015 mereka pernah berkontestasi dan diikuti 3 pasangan calon yakni paslon No.Urut 1, Hj. Ratna Mahmud-H. M. Zabur Nawawi, paslon No. urut 2, H. Hendra Gunawan-HJ. Suwarti dan paslon No. Urut 3, Zulkarnain- Ratnawati yang di ujung laga dimenangkan oleh petahana H. Hendra Gunawan dengan perolehan 83.236 suara meskipun terhadap perolehan ini diajukan permohonan PHPU di MK RI
Kedua, pilkada kali ini menorehkan sejarah dimana merupakan pilkada pertama di kabupaten Musi Rawas pasca rezim pemilihan melalui DPRD yang hanya diikuti oleh 2 pasangan calon,
Ketiga, dari sisi pasangan calon merupakan pasangan calon pertama di Sumatera Selatan baik calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, karena kedua-duanya berasal dari kaum hawa dan ini terhitung langka jika merujuk pada partisipasi calon kepala daerah di Indonesia, dan Keempat dari sisi dukungan partai, terjadi political shock di last minute saat pendaftaran pasangan calon, ada partai yang menarik kembali dukungan pada pasangan calon sebelumnya. Meskipun demikian terhadap kedua calon tersebut terdapat kesamaan yakni secara personality masing-masing baik sang Petahana H. Hendra Gunawan dan Hj. Ratna Mahmud memiliki hubungan kekerabatan erat dengan para tokoh atau pemimpin Musi Rawas sebelumnya (dinasti politik), dan mereka merupakan sosok yang sudah sangat familiar dikalangan masyarakat Musi Rawas, Muratara dan Lubuklinggau.
Merujuk pada hasil pilkada kabupaten Musi Rawas tahun 2015 lalu, dari jumlah penduduk sebanyak 398.212 dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 302.713 Pemilih terdiri dari 154.040 laki-laki dan 148.673 perempuan, dimana dari 302.713 Pemilih yang menggunakan hak pilihnya yakni sebanyak 190.542 terdiri dari 95.661 pemilih laki-laki dan 95.881 pemilih perempuan.
Dalam proses pemilihan kepala daerah tahun 2015, sang Petahana H. Hendra Gunawan-HJ. Suwarti mampu mengalahkan 2 kontestan lainnya dengan merebut suara sebesar 83.236 suara (45,06 %), diikuti oleh pasangan Hj. Ratna Mahmud-H. M. Zabur Nawawi sebesar 81.196 suara (43,96 %) dan Pasangan Zulkarnain- Ratnawati sebagai juru kunci diangka 20.281 suara (10,98 %), artinya terdapat selisih tipis antara H. Hendra Gunawan dengan Hj. Ratna Mahmud pada kisaran angka 184.713 atau hanya terpaut 2.040 (1,10 %) yang tersebar di 14 Kecamatan yang ada di Musi Rawas.
Berdasarkan hasil pilkada tahun 2015 sebagai dasar analisis diatas jika coba di potret secara utuh dengan menggunakan pendekatan analisis politik ada catatan penting antara lain :
a. Secara hitungan angka hasil akhir pasca putusan MK, perolehan suara Petahana tidaklah dapat dikatakan signifikan karena hanya mampu merebut suara sedikit dibandingkan Penantangnya apalagi saat ini secara de facto terjadi duel ulang dan head to head, padahal idealnya dengan status sebagai Wakil Bupati (incumbent) mampu memainkan peran dan memiliki pengaruh yang lebih baik dibandingkan Hj. Ratna Mahmud; hal ini berbanding terbalik jika merujuk pada hasil Pemilihan Walikota Lubuklinggau 2018 lalu dimana H. Prana Putra Sohe sebagai Petahana mampu meraup suara jauh lebih besar dibandingkan 2 calon lainnya.
b. Dari sisi sebaran angka perolehan dan jumlah wilayah, meskipun sang Petahana mampu unggul dalam artian menang akan tetapi hasil akhir tersebut hanya terpaut tipis dan bukan merupakan kemenangan telak terkecuali di 2 daerah yakni Tugumulyo sebesar 10.159 suara (Hj. Ratna Mahmud 9.150 suara) dan Megang Sakti sebesar 15.502 suara (Hj. Ratna Mahmud 7.964 suara).
Sementara sang Penantang yang boleh dikatakan new comer di ranah politik mampu unggul setidaknya di 8 kecamatan dari 14 Kecamatan meliputi Jayaloka, Muara Beliti, Muara Kelingi, Muara Lakitan, Purwodadi, Sukakarya, Tiang Pumpung Kepungut, dan Tuah Negeri, sisanya yakni 6 Kecamatan meliputi BTS ULU, Megang Sakti, Selangit, STL Ulu Terawas, Sumber Harta, dan Tugumulyo dimenangkan oleh Petahana.
Point penting atas argument ini adalah kemenangan telak di 2 wilayah yakni Tugumulyo dan Megang Sakti harus dibaca dan dimaknai merupakan refresentasi HJ. Suwarti sebagai Calon Wakil Bupati Petahana yang memiliki basis dukungan massa pada wilayah dengan dominan beretnis jawa, sementara hari ini realitas politik menunjukan Hj. Suwarti kembali maju sebagai Calon Wakil Bupati bersama Hj. Ratna Mahmud;
c. Dari sisi kinerja dan capaian selama menjabat. Konsekuensi sebagai Petahana tentu pemilih pada periode berikutnya akan melihat dan menilai sejauhmana kinerja dan capaian dengan menggunakan variabel-variabel yang terukur dan jelas selama menjabat jika dianggap baik, tentu hasil ini tidak dapat diklaim secara sepihak karna terdapat kontribusi dari Wakil Bupati yang hari kemudian memilih “bercerai”, tentu ini akan ber-effect positif dan negative bagi Petahana; pun jika sebaliknya;
d. Absennya tokoh Musi, tak seperti pilkada sebelumnya pada pelaksanaan pilkada kali ini ditandai dengan absennya tokoh dari kalangan Musi, padahal ada banyak tokoh Musi yang dianggap mampu dan berpeluang menjadi kandidat, tentu disisi lain ini harus dibaca sebagai peluang bagi masing-masing kandidat untuk menarik serta melibatkan peran tokoh Musi yang memiliki dukungan grass root jelas dan teruji karena secara de facto dan de jure dukungan dari kalangan ini menjadi penentu kemenangan para kandidat di pilkada 2020.
KESIMPULAN
Pilkada Musi Rawas 2020 haruslah dimaknai sebagai pesta demokrasi bagi pemilik kedaulatan yakni Rakyat dengan tujuan menciptakan perubahan kearah yang baik dari segala sisi. Jargon-jargon Lanjutkan 2 Periode, H2G Mulyana, Duo Srikandi, Milu Umak Ape Milu Ubak terasa begitu membumi dilapisan masyarakat Musi Rawas saat ini.
Sebagai kaum mayoritas bisu, kaum hawa dihadapkan pada pilihan masuk pada ruang politik dengan segala konsekuensi untuk membuat perubahan atau diam menikmati penindasan serta ketidakadilan yang terjadi selama ini terhadap kaum hawa, karena sejatinya perubahan tak pernah datang tiba-tiba, hanya berkat doa ditengah malam buta, ia harus direbut, dijemput dan diperjuangkan.
• Relawan pada Lembaga Bantuan Hukum Narendradhipa (LBH ND) Curup
Komentar