Berandang-Bengkulu. Era milineal dimana setiap orang dapat menyebarkan pendapat dengan mudahya via sosial media, menjadi pisau bermata dua. Satu sisi kemajuan teknologi tapi sisi lain menyebabkan latah teknologi menyangkut isu sensitif agama. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bengkulu Prof. Dr. H. Rohimin, M. Ag, selasa siang (22/5) turut andil saat Acara Sarasehan Cipayung Plus yang mengangkat tema “Reformasi dalam sejarah dan revolusi kebangkitan perjuangan pemuda dikonteks zaman milenial”, di gedung juang 45 Bengkulu. Selasa(22/5/2018)
Terkait dugaan penistaan suatu agama, disaat berbeda Ketua Forum Antar Umat Beragama Peduli Keluarga Sejahtera dan Kependudukan (Fapsedu) Provinsi Bengkulu yang terpilih 2012 lalu, berasumsi, setiap informasi baik itu dari media sosial atau pernyataan langsung harus dikonfirmasi (tabayun) dengan pelakunya maksud dan tujuan dilakukan hal tersebut.
“Terkait dengan hal-hal sensitif yang bersinggungan dengan suatu agama harus dihindari, untuk melihat apakah yang dilakukan termasuk penistaan agama atau tidak, maka harus dikaji dari sisi aqidah”, tambah Rohimin.
Terkait Dugaan tindak pidana penistaan agama sebagaimana dimaksud pasal 156 A KUHP juncto pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menjadi fenomema saat ini, Direktur Pascasarjana IAIN Bengkulu berpendapat, “Porsi MUI yakni menjaga dan memelihara agama, ajaran dan aqidah serta memberi penjelasan tentang hal yang tidak diketahui atau awam. Mengenai tindak lanjut apakah akan dihukum atau tidaknya kami serahkan kepada pihak berwajib dalam hal ini polisi dan pengadilan”.
“Penyebab terjadinya fenomena penodaan atau penistaan suatu agama kerena orang tidak mengetahui yang mana yang sakral dan tidak dari agama tersebut”. Ujar Profesor Ilmu Tafsir IAIN Bengkulu. (Rin/NM)
Komentar